Senin, 18 Mei 2015

Torsio Uteri

Torsio Uteri

           Torsio uteri adalah perputaran uterus yang sedang bunting pada poros memanjangnya,sering di temukan pada hewan ternak seperti sapi, khususnya sapi perah,domba, kambing, dapat juga terjadi pada anjing dan kucing. Jarang terjadi pada kuda dan babi. Kasus torsio uteri pada saat menjelang kelahiran, mencapai 90% dan biasanya diikuti oleh kesukaran melahiran (distokia). Torsio uteri yang terjadi sebelum bulan ke tujuh masa kebuntingan pada sapi jarang terjadi (Toelihere, 1985). Menurut Robert(1971) Menurut Robert (1971), kasus torsio uteri dapat mencapai 7,3 % dari kasus penyakit reproduksi yang dijumpai.Torsio uteri banyak terjadi pada hewan unipara yang selalu berada dalam kandang , tetapi jarang terjadi pada hewan polipara.Kasus an polipara.Torsio uteri pada kebanyakan induk hewan , terjadi pada saat menjelang kelahiran .Kasus torsio uteri pada saat menjelang kelahiran mencapai 90% , dan biaanya diikuti dengan distokia(Soehartojo,1995). 
   
          Menurut derajatnya, torsio uteri dapat dibagi menjadi dua macam yaitu torsio uteri sempurna, bila perputaran uterus yang bunting pada sumbu memanjang lebih dari 1800, dan torsio uteri yang tidak sempurna bila perputarannya kurang dari 1800. Torsio uteri yang sempurna jarang terjadi. Pada torsio uteri yang perputaran uterusnya mengandung lebih besar dari 1800, jalan kelahiran pada waktu kalahiran menjadi tertutup rapat, sehingga servik dan feotus tidak dapat diraba melalui pearabaan vaginal. Torsio uteri yang sempurna derajat perputaran lebih dari 1800, dapat mengakibatkan kematian feotus dan diikuti oleh proses mumifikasi, karena pada kematian feotus ini tidak disertai infeksi bakteri , pendarahan atau masuknya udara ke dalam rongga uterus. 

           Laporan dari Robert (1971) menyatakan bahwa torsio uteri ke kanan terjadi bila kebuntingan pada cornua uteri kanan dan arah ke kiri bila cornua uteri kiri yang mengalami kebuntingan. Pada sapi yang bunting, rumen berada disebelah kiri dari perut, cenderung mengalami torsio uteri ke arah kiri. Oleh karena itu torsio uteri ke kanan paling banyak dijumpai dibandingkan torsio kea rah kiri(Soehartojo,1995). Causa Torsio Uteri Curvature minor uteri pada kebuntingan tua ditunjang oleh ligamentum lata. Sedangkan curvature mayor,yaitu legokan bagian bawah uterus, bertumpu pada lantai abdomen dan ditopang oleh rumen, viscera dan dinding abdomen. Ujung ovarial cornua uterus bunting merupakan suatu basis yang relatif kecil dan sempit dan berfungsi sebagai tempat uterus bertumpu. Tumpuan ini tidak stabil karena tidak didukung oleh cornua yang satu lagi yang tidak ikut menbesar. Struktur anatomi ini, ditambah dengan gerakan pada waktu sapi berbaring yaitu dengan menumpukan ke dua kaki depan terlebih dahulu dan mengangkat kaki belakangnya terlebih dahulu pada waktu bangkit berdiri sehingga setiap kali hewan itu berbaring atau berdiri uterus bunting menggantung bebas di dalam rongga perut, apabila hewan tiba-tiba terjatuh pada waktu berbaring atau berdiri dapat menyebabkan torsio (Toelihere, 1985). 

           Simptom torsio uteri Pada kasus torsio uteri dengan derajat ringan, biasa tidak member gejala yang jelas. Sering dijumpai pada waktu pemeriksaan rectal dan biasanya dapat kembali pada posisi normal dengan sendirinya. Pada derajat yang berat mungkin terjadi selama beberapa hari atau minggu tanpa gejala klinis yang jelas sampai melahirkan dengan gejala distokia. Gejala torsio uteri pada waktu partus dapat menyebebkan distokia sering tidak diketahui oleh si perternak dan disangka bahwa hewan masih dalam tahap pertama proses kelahiran. Sapi tidak tenang, memperlihatkan gejala kolik dengan menendang perut dan mengibaskan ekornya.ruminansi menurun,konstipasi disebabkan kontraksi rumen menjadi pelan dan lemah,denyut nadi menjadi cepat, pernafasan menjadi lebih cepat,badan menjadi lemah, depresi, suhu tubuh menurun sehingga kaki-kakinya terasa dingin (Jones, 1980) Diagnosa Dianogsa yang tepat terhadap torsio uteri dapat dilakukan dengan pemeriksaan vaginal atau rectal. Pada torsio ke kanan ligamentum lata akan tertarik ke bawah corpus uteri atau vagina dan ligamentum lata ke kiri tertarik ke servix, corpus uteri dan vagina kearah kanan. Arteria uterine media tertarik tegang. 

            Derajat ketegangan arteri uterina media dan ligamentum lata menandakan derajat keparahan torsio. Feotus sering sulit diraba, tetapi posisi feotus di dalam uteruspada kebuntingan tua dapat membantu mendiagnosa derajat torsio. Pemeriksaan vaginal menunjukkan adanya perputaran dinding vagina dan stenosa vaginal. Arah perputaran tersebut sesuai dengan arah torsio. Apabila torsio melebihi 1800 sampai 2400 sulit memasukkan tangan melalui saluran kelamin yang terputus.bagian yang terputus biasanya meliputi vagina bagian depan, cervix, dan kadang-kadang corpus uteri (Hardjopranjoto, 1985). Prognosa Biasanya sangat tergantung pada derajat torsionya, berat tidaknya gejala yang terlihat, dan lamanya torsio uteri telah terjadi. Bila torsio uteri ringan cepat didiagnosa dan diadakan pertolongan, prognosa dengan baik. Torsio uteri berat bila tidak dilakukan pertolongan cepat maka prognosanya akan jelek, karena pemilik tidak member perhatian. Apabila torsio uteri ini sudah diikuti oleh kematian feotus dan terjadi emfesima atau telah terjadi persobekan dinding uterus disertai oleh peritonitis, prognosanya sangat jelek sekali (Hafez, 1990). 

         Penanganan Penanganan distokia karena torsio uteri meliputi beberapa cara yaitu: a. Cara memutar (menggulingkan) badan induk penderita secara cepat yang arah torsionya berlawanan b. Laparotomi diikuti pemutaran uterus beserta fetusnya berlawanan arah torsio c. Seksio sesaria, dilakukan bila torsio uterinya terjadi menjelang melahirkan .cara ini dilakukan untuk pertolongan torsio uteri disertai dengan kematian fetus, mumifikasi fetus. d. Pemutaran fetus dengan uterusnya melalui jalan kelahiran (taksis vaginalis).

Penulis
Drh. KHAIRUL RIZAL


 Daftar Pustaka 

Hafez, E.S.E. 1990. Reproduction In Fram Animal 4th ed. Lea And  Febiger Philadelhia.

Jones, D.L. 1980. Fundanientals Of Obsetrics And Gynaecology. 3rd Ed. The English Langueage Book Scoiety And Faber Limited. 

Mozes, R.T. 1985. Ilmu Kebidanan Pada TernakSapi Dan Kerbau. Penerbut Universitas Indonesia, Jakarta. 

Roberts, S.J. 1971. Veteninary obstetrics And Genital disease, Ed. Wards Brother Inc. Ann Arbor, Michigan P.68-111. 

Soehartojo, H. 1985. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Penerbit Airlangga universitas, Press. Bandung.

Rabu, 06 Mei 2015

Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides


Taksonomi

Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
Ascaris Lumbricoides
Nama binomial Ascaris lumbricoides
Linnaeus, 1758
Description: Cacing dewasa betina.
                                                                        Gambar 6. Ascaris lumbricoides

Morfologi                                                                                  

Ascaris adalah jenis cacing giling yang besar. Bibirnya mempunyai peninggian bergigi, tetapi tidak ada interlabia atau sayap servikal. Ekor cacing jantan berbentuk kerucut, tanpa sayap kaudal tetapi terdapat sejumlah papila.(Anonimous.2010)

Genus Ascaris ini merupakan ini merupakan cacing raksasa dinbanding dengan kebanyakan nematoda.Bibirnya mempunyai peninggian bergerigi , tetapi tidak ada interlabia atau sayap cervikal.Tidak terdapat ventrikulus di ujung posterior esofagus. Ekor cacing jantan berbentuk kerucut, tanpa sayaap kaudal tetapi terdapat sejumlah papila . Spikulum sama besar dan tidak bersayap, serta tidak terdpat gubernkulum.Vulva terletak di anteerior pertengahan tubuh , vagina mengarah ke belakang, dan terdapat 2 uterus. Telur mempunyai kulit tebal. (Levine.1994)

Cacing jantan memiliki panjang sekitar 10-31 cm dan berdiameter 2-4 mm, sedangkan betina memiliki panjang 20-35 cm dan berdiameter 3-6 mm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Cacing betina memiliki tubulus dan duktus sepanjang kurang lebih 12 cm dan kapasitas sampai 27 juta telur. (Gandahusada,dkk.2006)

Cacing dewasa hidup pada usus halus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 50-70 x 40-50 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Telur cacing A. lumbricoides dilapisi lapisan album Siklus hidup(Gandahusada,dkk.2006)

 

Siklus hidup

 

Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ea/Ascariasis_LifeCycle_-_CDC_Division_of_Parasitic_Diseases.gif
Gambar 7.  Siklus hidup Ascaris lumbricoides
Siklus hidup A. lumbricoides dimulai dari keluarnya telur bersama dengan feses, yang kemudian mencemari tanah. Telur ini akan menjadi bentuk infektif dengan lingkungan yang mendukung, seperti kelembaban yang tinggi dan suhu yang hangat.[2] Telur bentuk infektif ini akan menginfeksi manusia jika tanpa sengaja tertelan manusia. (Padmasutra,dkk 2007)
Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran darah, dimulai dari pembuluh darah vena, vena portal, vena cava inferior dan akan masuk ke jantung dan ke pembuluh darah di paru-paru. (Padmasutra,dkk 2007)
Pada paru-paru akan terjadi siklus paru dimana cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring dan memicu batuk. Dengan terjadinya batuk larva akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. (Padmasutra,dkk 2007)
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya. (Padmasutra,dkk 2007).


TREMATODA

TREMATODA 

TINJAUAN PUSTAKA

Spesies cacing yang tergolong trematoda ditemukan pada organ pencernaan, organ genital, dan beberapa organ lainnnya. Morfologi trematoda secara umum berbentuk pipih, tidak bersegmen, bentuk memanjang seperti daun, berbentuk telur, kerucut, silindris, dan mempunyai batil isap kepala dan perut. Umumnya trematoda bersifat hermafrodit, kecuali genus Schistosoma. Hospes definitif spesies trematoda golongan vertebrata di antaranya manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah bangsa keong (Muslim, 2006)

Cacing dari klas trematoda terbagi ke dalam tiga subklas yaitu :

1.        Subklas Monogenea, yaitu parasit yang terdapat pada hewan berdarah dingin (ikan, amphibia dan reptil) sebagian besar merupakan ektoparasit. Siklus hidupnya adalah langsung.
2.        Subklas Aspidogastrea, subklas ini hanya memiliki satu famili, Aspidogastridae, bersifat parasit pada ikan, penyu, moluska atau krustacea. Parasit ini tidak pernah ditemukan pada hewan domestik.
3.        Subklas Digenea, merupakan parasit yang menyerang sebagian besar hewan domestic. Siklus hidupnya membutuhkan satu, dua atau lebih induk semang antara. Umumnya bersifat hermafrodit, kecuali Schistosomatidae dan Dioymozoidae.
Menurut tempat hidupnya, ada 4 penggolongan trematoda, yaitu :
a.       Trematoda pembuluh darah: Schistosoma Japonicum, S. Mansoni, S. Haematobium.
b.      Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. Ilocanum
c.       Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. gigantica.
d.      Trematoda paru: Paragonimus westermani.


A.      TREMATODA PEMBULUH DARAH
1.      Schistosoma Japonicum
Manusia merupakan hospes definitif dari Schistosoma joponicum sedangkan babi, anjing, sapi, kucing dan rodensia merupakan hospes reservoir. Hospes perantara adalah keong air (Sanlias, 2010)

a        Toxonomi Schistosoma Japonicum

Kingdom         : Animalia
Filum               : Platyhelminthes
Kelas               : Trematoda
Subkelas          : Digenea
Ordo                : Stringeidida
Genus              : Schistosoma
Spesies            : Schistosoma joponicum

    Morfologi Schistosoma joponicum
Cacing jantan panjangnya ± 1,5 mm, gemuk, testis 6-8 buah, memiliki batil isap kepala dan batil isap perut, integumen halus, kanalis ginekoforus. Cacing betina panjangnya ± 1,9 mm, langsing, ovarium di tengah, uterus berisi telur, kelenjar vitelaria di posterior, terletak dalam kanalis ginekoforus cacing jantan. Telur berukuran ± 90 × 70 mikron, memiliki duri kecil, berisi mirasidium (Prianto dkk, 1995)
       
Gambar 1: Cacing Schistosoma joponicum    Gambar 2 : telur Cacing Schistosoma joponicum

      Siklus hidup Schistosoma joponicum         

Schistosoma hidup terutama didalam vena mesenterika superior, dimana tempat ini cacing betina akan menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau meninggalkan yang jantan untuk bertelur didalam venula-venula mesenterika kecil pada dinding usus. Telur berbentuk oval hingga bulat dan memerlukan waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang didalam kerangka telur. Massa telur menyebabkan adanya penekanan pada dinding venula yang tipis, yang biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium yang masih berada didalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh.
Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing ditemukan pada pembuluh darah. Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larva menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua dari sporokista. Pada perkembangan selanjutnya dibetuk serkaria yang bercabang. Serkaria ini dikeluarkan jika siput berada pada atau di bawah permukaan air. Dalam waktu 24 jam, serkaria menembus kulit. Tertembusnya kulit ini sebagai hasil kerja dari kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju aliran kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru, terbawa sampai ke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini diambil oleh Schistosoma muda pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Schistosoma merayap melawan aliran darah sepanjang arteri pulmonalis, jantung kanan dan vena cava menuju kehati melalui venahepatica.
Infeksi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Menetasnya telur berlangsung didalam air walaupun dipengaruhi kadar garam, pH, suhu dan aspek penting lainnya. Migrasi Schistosoma joponicum dimulai dari masuknya cacing tersebut kedalam pembuluh darah kecil, kemudian ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang bermigrasi jarang menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang menimbulkan reaksi hebat pada tubuh penderita.

2.      Schistosoma manson
Hospes definitifnya adalah manusia, sedangkan hospes reservoirnya adalah kera, Baboon dan hewan pengerat. Hospes perantaranya adalah keong air tawar genus Biomphalaria sp.  dan Australorbis sp. Habitat cacing ini adalah vena kolondan rectum (Sanlias, 2010)
a    
           Toxonomi Schistosoma manson
Kingdom         : Animalia
Filum               : Platyhelminthes
Kelas               : Trematoda
Subkelas          : Digenea
Ordo                : Strigeidida
Genus              : Schistosoma
Spesies            : Schistosoma manson

      Morfologi Schistosoma manson
Cacing jantan panjangnya  ± 1 mm, gemuk, testis 6-9 buah, kanalis ginekoforus inregumen bertonjolan. Cacing betina panjangnya ± 1,4 mm, langsing, ovarium terletak pada pertengahan bagian anterior, terletak dalam kanalis ginekoforus cacing jantan. Telur berukuran ± 155 × 65 mikron, duri besar di lateral, berisi mirasidium (Prianto dkk, 1995)
                       

Gambar 4 : cacing Schistosoma manson             Gambar 5 : telur cacing Schistosoma manson  
        
        siklus hidup Schistosoma manson            
Hospes terinfeksi oleh serkaria di air tawar melalui penetrasi pada kulit. Serkaria masuk tubuh melalui sirkulasi vena ke jantung, paru-paru dan sirkulasi portal. Setelah tiga minggu serkaria matang dan mencapai vena mesenterika superior usus halus lalu tinggal disana serta berkembang biak. Telur yang dikeluarkan oleh cacing betina di dalam usus menembus jaringan sub mukosa dan mukosa lalu masuk kedalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur yang berada di air tawar menetas dan melepaskan mirasidium yang kemudian berenang bebas mencari hospes perantaranya yaitu keong. Dalam tubuh keong mirasidium berkembang menjadi sporokista 1 dan 2 kemudian menjadi larva serkaria yang ekornya bercabang. Serkaria selanjutnya akan mencari hospes definitif dalam waktu 24 jam.
3.      Schistosoma haeotobium
Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, kera dan baboon. Hospes perantaranya adalah keong air tawar bergenus Bulinus sp, Physopsis sp, dan Biomphalaria sp. Cacing ini tidak ditemukan diIndonesia.

a     Toxonomi Schistosoma haeotobium
Kingdom         : Animalia
Filum               : Platyhelminthes
Kelas               : Trematoda
Subkelas          : Digenea
Ordo                : Strigeidida
Genus              : Schistosoma
Spesies            : Schistosoma haeotobium

       Morfologi Schistosoma haeotobium
Cacing jantan berukuran 10-15 x 0,8-1 mm, gemuk, memiliki dua batil isap berotot, yang ventral lebih besar. Di sebelah belakang batil isap ventral, melipat ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik, terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat di bawah batil isap ventral. Cacing betina panjang silindris, ukuran 20x0,25 mm. Batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari pertengahan tubuh. Uterus mengandung  20-30 telur berkembang pada saat dalam uterus. Telur berduri.
                               
Gambar 6 : cacing S. haeotobium                                 Gambar 7 : telur cacing S. haeotobium

        siklus hidup S. haeotobium                                   
Hospes yang terinfeksi melalui air kencing atau kotoran yang mengandung telur cacing. Telur cacing menetas dan cacing pindah ke keong, cacing muda pindah dari keong ke hospes. Dengan demikian, hospes yang berenang di air tempat hospes  yang terinfeksi pernah buang air kecil atau buang air besar, maka ia akan terinfeksi.
Cacing atau serkaria (bentuk infektif dari Schistosoma haematobium) menginfeksi dengan cara menembus kulit pada waktu hospes masuk kedalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri, kemudian masuk ke system peredaran darah besar,ke cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati.
Setelah dewasa, cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah berkopulasi. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kendung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urine. Telur menetas di dalam air, dan larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium ini kemudian masuk ke tubuh keong air dan berkembang menjadi serkaria.



Penulis
Khairul Rizal
1202101010058
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan 
Universitas Syiah Kuala



DAFTAR PUSTAKA


WRD Puskeswan Kandis gelar vaksinasi rabies

         Drh. Khairul Rizal sedang melaksanakan vaksinasi rabies pada HPR. SIAK (2019). World Rabies Day (WRD) merupakan hari rab...