Pengawasan Kesmavet Dalam
Rantai Penyediaan Susu
Susu adalah cairan
bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia. Susu adalah sumber gizi utama bagi bayi sebelum mereka dapat mencerna makanan padat. Susu
binatang (biasanya sapi) juga diolah menjadi berbagai produk seperti mentega,yogurt, es krim, keju, susu kental
manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi manusia (Wikipedia,
2014).
Air susu
merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal selain air susu mengandung semua zat yang
dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan yang terkandung didalam air susu dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh. Didalam kehidupan sehari-hari, tidak semua
orang meminum air susu yang belum diolah. Hal ini disebabkan karena tidak terbiasa mencium aroma susu
segar (mentah), atau sama sekali tidak suka air susu dan sebagian lagi karena menganggap harga air susu mahal dibandingkan
kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan adanya teknologi pengolahan/pengawetan bahan makanan, maka hal
tersebut dapat diatasi, sehingga air susu beraroma enak dan disukai orang (Purwandini, 2012).
https://mymilk.com/milkeveryday/fun-fact/kelebihan-susu-sapi-holstein-dengan-susu-sapi-jersey
Dalam
SK Dirjen Peternakan No. 17 Tahun 1983, dijelaskan definisi susu adalah susu sapi
yang meliputi susu segar, susu murni, susu pasteurisasi, dan susu sterilisasi. Susu segar adalah susu murni yang tidak mengalami
proses pemanasan. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat. Susu murni diperoleh
dengan cara pemerahan yang benar, tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen atau bahan lain. Manusia mengonsumsi susu sapi dimulai sejak ribuan tahun sebelum masehi, ketika manusia
mulai mendomestikasi ternak penghasil susu untuk dikonsumsi hasilnya. Daerah yang memiliki peradaban
tinggi seperti Mesopotamia, Mesir, India, dan Yunani diduga sebagai daerah asal manusia pertama kali memelihara
sapi perah. Hal tersebut ditunjukkan dari berbagai bukti berupa sisa-sisa pahatan gambar sapi dan adanya kepercayaan
masyarakat setempat yang menganggap sapi sebagai ternak suci. Pada saat itu pula susu telah diolah menjadi
berbagai produk seperti mentega dan keju (Purwandini, 2012).
Dewasa
ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur produktif, susu
membantu pertumbuhan mereka. Sementara itu, untuk orang lanjut usia, susu
membantu menopang tulang agar tidak keropos. Susu secara alami mengandung nutrisi penting, seperti bermacam-macam vitamin, protein, kalsium, magnesium, fosfor,dan zinc, pendapat lain menambahkan bahwa susu
mengandung mineral dan lemak. Oleh karena itu, setiap orang dianjurkan minum susu.
Sekarang banyak susu yang dikemas dalam bentuk yang unik. Tujuan dari ini agar
orang tertarik untuk membeli dan minum susu. Ada juga susu yang berbentuk
fermentasi (Wikipedia, 2014).
Pemasok susu terbesar di Indonesia berasal dari
pulau Jawa, dari 95 koperasi susu
di pulau Jawa, 45 berada
di Jawa Timur, 25 di Jawa Tengah dan 25 di Jawa Barat dengan produksi
1-1,2 juta liter/hari. Jumlah ini akan bertambah seiring dengan kenaikan harga
susu, karena adanya kesadaran para peternak dan pengusaha untuk
meningkatkan jumlah sapi perah sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sulawesi
Selatan, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan, Bali, dan Gorontalo merupakan beberapa
daerah selain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dijadikan daerah
pengembangan sentra produksi susu. “Bahkan ada beberapa daerah seperti
Kerinci bekerjasama dengan Kanada dalam hal pengadaan sapi perah,”
Kerinci bersedia membuka lahan sekitar 5000 hektar untuk penanaman tanaman
kentang, dengan kompensasi 2 ekor sapi perah untuk setiap hektar lahan
yang ditanami. Dalam hal ini, otonomi daerah diharapkan memberikan pengaruh
yang baik bagi peternak dalam mengambil keputusan yang tepat bagi usaha
ternaknya (Dirjen Peternakan, 2009). Pengembangan sentra produksi baru di luar
Jawa, diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia.
Pelaksanaan program yang telah ditetapkan pemerintah secara konsisten, diperkirakan
dapat meningkatkan produksi susu domestik hingga 40% ditahun 2010, sedangkan
untuk mencukupi kebutuhan susu nasional hingga 100% diperlukan populasi
sapi sekitar 4 kali dari populasi yang ada sekarang (377.772 ekor), yaitu sekitar 2
juta ekor sapi. Pengembangan
sapi yang direncanakan tersebut
juga dirancang untuk dapat meningkatkan konsumsi susu 50 ml/hari/kapita atau
sekitar 25% dari konsumsi ideal 200 ml/hari/kapita mulai Tahun 2008 (Dirjen Peternakan,
2009).
Pada tahun 2010 populasi penduduk akan mencapai 240
juta (Pertumbuhan 1,49%
/tahun), 91,2 juta diantaranya adalah generasi muda usia wajib sekolah (<19tahun),
memerlukan susu idealnya 4,6 juta ton/tahun (konsumsi 1 gelas/hari). Sementara harga susu di
tingkat peternak pada saat ini telah mengalami peningkatkan dari harga
Rp.1.450,-/l menjadi Rp.1.600/l –Rp.1.900,-/l, bahkan di tingkat koperasi sudah
mencapai harga Rp.2.700/l, rata-rata Rp. 2.300,-/l. Perbedaan harga ini
tergantung dari kualitas susu yang dilihat dari kandungan TS (Total Solid) dan TPC ( Total Plate Count)
/ kandungan bakteri di dalam susu segar.
Sebagai contoh, saat ini di Jateng TS tertinggi yang telah dicapai peternak kabupaten Semarang
adalah 13,28 dan TPC antara
1,02 jt /ml sampai 5 juta /ml susu.
Menurut Dinas Peternakan Jateng, harga susu segar di Jawa Tengah lebih rendah jika
dibandingkan dengan harga susu segar di Jawa Timur dan Jawa Barat, (Jawa Timur dan
Jawa Barat harga susu segar rata-rata Rp.2.500,- Rp.3.500,- ). Salah satu penyebab
rendahnya harga susu di Jawa Tengah adalah kualitas susu yang masih rendah
dan belum adanya IPS (Industri Pengolah Susu) sendiri, sehingga untuk menuju
ke IPS yang terletak di Jawa Barat/ Jawa Timur membutuhkan ongkos
transportasi yang cukup mahal. Untuk
meningkatkan mutu dan keamanan susu segar dapat diupayakan melalui penerapan
teknologi pascapanen dan penetapan CCP (Critical Control Point)
pada tahap pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dingin dan transportasi. Penerapan
HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) pada keseluruhan tahap proses produksi
merupakan usaha perbaikan
manajemen penanganan susu segar, bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk
pertanian dan menjamin keamanan pangan (SNI, 2002).
A.
Syarat Susu yang Baik
Saat masih berada di dalam kelenjar
susu, susu dinyatakan steril. Namun, apabila sudah terkena udara, susu sudah
tidak bisa dijamin kesterilannya. Adapun syarat susu yang baik meliputi
banyak faktor, seperti warna, rasa, bau, berat jenis, kekentalan, titik beku,
titik didih, dan tingkat keasaman. Warna susu bergantung pada beberapa
faktor seperti jenis ternak dan pakannya. Warna susu normal biasanya berkisar
dari putih kebiruan hingga kuning keemasan.
Warna putihnya merupakan hasil dispersi cahaya dari butiran-butiran lemak,
protein, dan mineral yang ada di dalam susu. Lemak dan beta karoten yang larut menciptakan warna
kuning, sedangkan apabila kandungan lemak dalam susu diambil, warna biru akan
muncul (Wikipedia, 2014).
Susu terasa sedikit manis dan asin
(gurih) yang disebabkan adanya kandungan gula laktosa dan garam mineral di
dalam susu. Rasa susu sendiri mudah sekali berubah bila terkena
benda-benda tertentu, misalnya makanan ternak penghasil susu, kerja enzim dalam tubuh ternak,
bahkan wadah tempat menampung susu yang dihasilkan nantinya. Bau susu umumnya sedap,
namun juga sangat mudah berubah bila terkena faktor di atas. Berat jenis air susu
adalah 1,028 kg/L. Penetapan berat jenis susu harus dilakukan 3 jam setelah
susu diperah, sebab berat jenis ini dapat berubah, dipengaruhi oleh perubahan kondisi lemak susu
ataupun karena gas di dalam susu. Viskositas susu biasanya berkisar antara 1,5
sampai 2 cP, yang dipengaruhi oleh bahan padat susu, lemak, serta
temperatur susu (Wikipedia, 2014).
Titik beku susu di Indonesia adalah
-0,520 °C, sedangkan titik didihnya adalah 100,16 °C. Titik didih dan titik
beku ini akan mengalami perubahan apabila dilakukan pemalsuan
susu dengan penambahan air yang terlalu banyak karena titik didih dan titik
beku air yang berbeda. Susu
segar mempunyai sifat amfoter, artinya dapat berada di antara sifat asam dan
sifat basa. Secara alami pH susu segar berkisar 6,5–6,7. Bila pH susu lebih rendah dari 6,5,
berarti terdapat kolostrum ataupun aktivitas bakteri (Wikipedia, 2014)
B.
Kondisi, Masalah dan Arah Pengembangan Mutu dan Keamanan Susu Segar
1.
Kondisi dan Masalah Susu Segar
Tujuan
peningkatan mutu susu adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan susu
melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan.
Indikator yang digunakan adalah standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil
produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum (Agriculture Canada, 1993). Menurut Buckle et al. (1987), kerusakan susu akibat aktivitas
mikroorganisme antara lain: (1) pengasaman dan penggumpalan karena fermentasi laktosa
menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan terjadinya penggumpalan
kasein; (2) berlendir seperti tali karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir
akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri; dan (3) penggumpalan
susu yang timbul tanpa penurunan pH disebabkan oleh Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang mencerna lapisan tipis fosfolipid di sekitar
butir-butir itu menyatu membentuk suatu gumpalan yang timbul ke permukaan susu (Handerson,
1981).
Susu
mengandung bermacam-macam unsur dan zat makanan yang juga diperlukan bagi pertumbuhan bakteri. Susu
dalam ambing ternak yang sehat tak bebas hama dan mungkin mengandung sampai 500
sel/ml. Jika ambing tersebut sakit maka jumlahnya dapat meningkat lebih besar dari 20.000 sel/ml. Selain mikroorganisme yang biasanya ada dalam susu
dan ambing ada juga pencemaran yang ada dalam wadah saat pemerahan. Jenis-jenis micrococcus dan Corybacterium sering terdapat dalam susu yang baru diperah.
Pencemaran juga timbul dari sapi, alat pemerahan yang kurang bersih dan tempat-tempat penyimpanan (Sri Usmiati dan Abubakar, 2007). Setelah susu diperah, kandungan mikro organisme pada susu merupakan fungsi
dari umur susu yang menentukan tingkat perkembangan flora alam, penanganan susu yang menentukan jenis mikroorganisme yang terbawa dan suhu
penyimpanan yang menentukan kecepatan perkembangbiakan semua jenis mikroorganisme.
Sebagian besar susu dihasilkan dari
peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan beberapa ekor sampai belasan
ekor, dengan modal yang rendah mengakibatkan
kandang, peralatan pemerahan, ketersediaan air sangat terbatas mengakibatkan rendahnya
mutu susu yang dihasilkan terutama TPC tinggi sehingga test alkohol
positif (Abubakar, 2009). Hal ini yang memicu susu dibuang karena penolakan susu
oleh IPS. Konsumsi susu segar paling besar adalah IPS, sehingga
persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh IPS harus yang di sepakati antara peternak melalui
koperasi dan IPS. Adanya sikap ”dengan cara sederhana dan seadanya seperti yang dilakukan setiap hari saja susu
yang dihasilkan dibeli oleh koperasi (laku dijual)”, anggapan
salah tersebut perlu diubah, diperbaiki dan disadarkan
kembali mengenai makna keamanan pangan yang akan berimbas terhadap peningkatan
pendapatan peternak (bonus harga atas mutu dan keamanan susu yang
baik).
1.
Arah
Pengembangan Keamanan pangan dan Standar Mutu
Susu
Dalam upaya meningkatkan ketahanan
pangan selain memperhatikan kuantitas,
kualitas susu perlu mendapat perhatian termasuk faktor keamanan produk yang
bersangkutan, antara lain bebas dari cemaran kimia, fisik dan mikrobiologis. Keamanan
pangan susu adalah interaksi antara status gizi, toksisitas
mikrobiologis dan kimiawi yang saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Kualitas
susu memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Keamanan pangan
susu ditentukan pada saat-saat panen, pemerahan susu, pengolahan produk
menjadi bahan pangan, serta ketika melalui rantai pemasaran. Suatu konsep
jaminan mutu yang khusus diterapkan untuk pangan dikenal dengan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP)
yaitu system pengawasan
mutu industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau
resiko yang mungkin timbul, serta menetapkan pengawasan tertentu
dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan (BSN,
2002).
UU Pangan No.7 Th 1996 telah ditetapkan
dan kemudian di jabarkan dalam PP No.
28 Th 2004. Tiga unsur penting yang digunakan dalam pembuatan UU tersebut adalah: 1) pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia, 2) pangan yang aman, bermutu, bergizi dan
beragam merupakan prasyarat utama untuk kesehatan, dan 3) pangan sebagai
komoditas dagang memerlukan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab.
Kesadaran terhadap mutu harus dimulai pada tahap sangat awal yaitu
gagasan konsep produk setelah persyaratan-persyaratan konsumen di definisikan
(Suratmono, 2005).
Persyaratan
mutu susu berdasarkan SNI
dan Direktorat Jenderal Peternakan atas nilai TPC dan cemaran mikrobiologis patogen tertera pada Tabel 1.
Indikator mutu susu sapi segar terkait
dengan: a) mutu fisik, yaitu warna, penampakan, kesegaran, konsistensi dll,
b) mutu kimia, yaitu kandungan gizi, aroma, rasa, bebas cemaran logam berat;
c) mutu biologi, yaitu bebas dari kontaminasi
mikroba patogen yang membahayakan kesehatan.
Tujuan peningkatan mutu susu adalah
mempertahankan kesegaran dan keutuhan,
serta mengurangi kerusakan pada susu melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik
tolak pada penyebab kerusakan. Indikator yang di gunakan adalah standar mutu
pada proses produksi, pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang
efektif dan optimum (Agriculture Canada, 1993). Jaminan mutu merupakan kegiatan
yang terus menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan dengan baik
untuk membangun kepercayaan konsumen (Juran, 1989).
Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang
dapat dirasakan dan diukur),
reliability (keandalan),
responsiveness (tanggap),
assurancy (rasa
aman dan percaya
diri) dan emphaty (keramah
tamahan) (NACMF, 1992). Menurut
Ishikawa (1990) jaminan mutu merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli
konsumen dengan penuh ke percayaan dan digunakan terus menerus dalam jangka
waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan. Tiga langkah utama
dalam peningkatan mutu yaitu, menetapkan standar, menilai kesesuaian atau kinerja
operasi (mengukur dan membandingkan dengan standar) dan melakukan tindakan
koreksi bila diperlukan.
2.
Pengembangan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Susu
1.
Sistem
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Tuntutan dan kepedulian konsumen
terhadap mutu dan keamanan pangan serta
kesehatan, mendorong terbitnya sistem HACCP. HACCP cukup penting dalam mengantisipasi
liberalisasi perdagangan, persaingan harga dan tuntutan kualitas yang semakin disadari
oleh masyarakat konsumen. Pada tahun 1993, Codex menetapkan HACCP sebagai a food safety management tools (Stevenson
and Bernard, 1995).
HACCP adalah suatu piranti untuk menilai
suatu bahaya spesifik dan menetapkan
sistem pengendalian yang di fokuskan pada pencegahan daripada pengujian
produk akhir. HACCP pada industri persusuan adalah karena bahanbahan yang
digunakan (baik bahan baku maupun bahan penolong) selama proses produksi
memiliki peluang terjadinya pencemaran yang dapat membahayakan konsumen.
Pencemaran ini dapat berupa pencemaran fisik (dari pekerja, sapi dan
lingkungan
misalnya logam, kaca, pasir, bulu/rambut), kimia (bahan tambahan, fungisida, insektisida,
pestisida, migrasi komponen plastik, logam beracun) maupun mikrobiologis
(bakteri, fungi, protozoa, cacing, ganggang).
Sistem HACCP sesuai dengan Codex terdiri dari tujuh
prinsip, yaitu: (1) mengidentifikasi
semua hazard dan
hazard analysis pada
rantai pangan dan menentukan
tindakan pencegahan, (2) menetapkan Critical Control Point (CCP),
(3) menetapkan
kriteria yang menunjukkan pengawasan pada CCP, (4) menetapkan prosedur untuk
memonitor setiap CCP,
(5) menetapkan tindakan apabila criteria yang ditetapkan untuk
mengawasi CCP tidak
sebagai mana mestinya, (6) verifikasi menggunakan informasi pendukung dan
pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP dapat dilaksanakan dan
(7) menetapkan cara pencatatan dan dokumentasi (Bauman, 1990).
Dalam proses produksi selalu ada tindak
pengawasan dalam menjamin keamanan
pangan. Ada dua tipe titik tindak pengawasan yaitu tindak yang dapat menjamin keamanan susu
sapi segar (food safety) dan
tindak yang hanya memperkecil
kemungkinan bahaya yang timbul akibat pencemaran pada susu sapi. Food safety yang disarankan
para ahli adalah secara konvensional yaitu Good
Manufacturing Practices (GMP), Good Distribution Practices (GDP), pengendalian higiene,
dan pengujian produk akhir. Sedangkan titik tindak untuk memperkecil bahaya yang
timbul yaitu dengan sistem HACCP.
HACCP bukan merupakan jaminan
keamanan pangan yang zero-risk,
tetapi dirancang untuk meminimumkan
risiko bahaya keamanan pangan dan sebagai alat manajemen
2.
Analisis
CCP (Critical
Control Point)
Proses Produksi Susu
Penetapan CCP melalui tahap analisis
bahaya, yaitu analisis risiko peluang kejadian yang menentukan apakah prosedur
tersebut memiliki bahaya signifikan atau tidak. Jenis bahaya meliputi kimia,
fisika dan biologis di dalam atau kondisi dari makanan dengan
potensi untuk menyebabkan dampak merugikan kesehatan. Kontaminasi kimia
terjadi pada tahap produksi, sampai produk akhir. Pengaruhnya terhadap konsumen
berjangka panjang (akut), misalnya bahan kimia yang dapat mencemari makanan:
deterjen, pestisida, herbisida, insektisida, nitrit, nitrat, migrasi komponen
plastik, residu antibiotika, aditif kimia dan logam berat beracun. Bahaya fisik,
berasal dari gelas, logam, batu, ranting, kayu, hama, pasir, rumput. Bahaya biologis
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme seperti: bakteri, fungi, virus,
parasit, protozoa, ganggang dan toksin.
Pada prinsipnya analisis CCP berkaitan dengan dua
hal pokok yaitu: 1) bahan baku yaitu sapi hidup dan susu sapi, dan 2)
tahapan proses pemerahan, sehingga proses prapanen dan pascapanen sejak
pemerahan hingga pemasaran sangat menentukan mutu susu sapi.
Analisis penetapan CCP pada proses pemerahan
susu sapi adalah sebagai berikut
: Bahan baku, Sapi perah dan susu sapi terkontaminasi benda-benda asing dari tanah, kotoran,
kuman patogen/virus dalam tubuh ternak sejak dibawa dari kandang, dan tempat
pemerahan. Air terkontaminasi kuman patogen dan pembusuk, terjadi saat
pencucian ambing, memandikan sapi dan tangan pekerja. Tindakan
pengendaliannya: sapi harus bersih, kandang harus higienis, tangan
pekerja
harus bersih, pemerahan dilakukan secara benar, dan saniter, air pencuci harus bersih. Proses
pemerahan. Kontaminasi kuman patogen/virus, Penyebabnya: ambing kotor,
tangan pekerja kotor, pengeluaran susu kurang sempurna, menyebabkan
masih ada sisa susu tertinggal dan menyebabkan kontaminasi. Tindakan
pengendaliannya: ambing harus bersih, tangan pekerja harus bersih, dan
dibersihkan dengan air panas untuk menghilangkan sisa mikroba yang
tertinggal. Peralatan pemerahan dan penyaringan susu: Fisik susu kotor dan
terkontaminasi benda asing seperti tanah, sisa pakan/rumput, rambut, bulu dan kuku operator.
Penyebabnya: alat pemerah dan penyaring kotor, wadah/ can kotor, tangan
pekerja kotor. Tindakan pencegahannya: semua peralatan pemerahan dan
penyaringan harus bersih termasuk tangan pekerja.
Untuk dapat memproduksi susu segar yang bermutu dan
baik serta aman bagi
kesehatan, diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan system manajemen lingkungan
yang mantap. maka dipandang ada tiga unsur utama yang terlibat dalam
pengamanan/pengendaliannya yaitu:
1. Sistem pengendalian yang
intensif berupa pengamanan dilakukan sejak praproduksi, hingga pemasaran (preharvest food safety program). Dalam pelaksanaannya sistem
pengamanan ditempuh melalui cara pengamatan (surveilance),
pemantauan (monitoring)
dan pemeriksaan (inspection)
terhadap setiap
mata rantai pengadaan susu sapi.
2. Pengendalian infrastruktur,
antara lain melalui
perbaikan perangkat keras, misalnya perbaikan/ renovasi kandang sapi,
3. Perangkat pendukung
adalah UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, Surat Keputusan Menteri
Pertanian dan Dirjen Peternakan yang berkaitan erat dengan produksi dan keamanan
susu sapi. Direktorat Kesmavet telah mencanangkan program keamanan pangan
produk ternak dengan membangun Siskesmavet dan Siskeswannas.
Beberapa program yang dapat diusulkan
kepada pemerintah dalam pemecahan
masalah keamanan pangan produk ternak khususnya susu sapi segar ditinjau dari aspek
pascapanen: (1) pendidikan, penelitian, mengembangkan dan membina aplikasi ilmu
dan teknologi pascapanen susu sapi, (2) menjaga ketersediaan susu sapi,
(3) melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan susu
sapi, (4) merencanakan dan melaksanakan program pencegahan masalah
persusuan, (5) membentuk sistem pengaturan distribusi produk susu sapi yang
efisien, (6) melaksanakan penyuluhan keamanan pangan susu sapi, (7) menjalin
kerjasama internasional di bidang: penelitian dan pengembangan teknologi
pascapanen, perdagangan, teknologi distribusi, teknologi pengelolaan
pangan susu, pencegahan dan penanggulangan masalah persusuan (Wiradarya,
2005).
Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan pengembangan oleh
Litbang maupun perguruan Tinggi, secara terus menerus terhadap teknologi
penanganan dan pengolahan produk susu sapi. Hasil-hasil penelitian dan
pengembangan teknologi pascapanen produk ternak, khususnya penanganan dan
pengolahan susu serta model sistem HACCP harus didiseminasikan dan
dilakukan promosi kepada stakeholder,
pelaku bisnis dan lain-lain.
Teknik–teknik diseminasi yang dapat dilakukan berupa penerbitan jurnal, bulletin,
leafleat,
petunjuk teknis, seminar, penyuluhan, gelar teknologi dan lain sebagainya.
Penanganan dan pengolahan terpadu pada
susu khususnya pada industri pengolahan susu cukup luas, tetapi faktor keamanan pangan dan masalah
hieginis produk susu belum terbina dengan baik sehingga perlu adanya
reorientasi dan reaktualisasi penanganan kesmavet. Untuk itu diperlukan teknologi
penanganan dan pengolahan, sistem pengendalian yang intensif berupa
pengamanan sejak pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest food safety
program), pengendalian infrastruktur dan penerapan
UU Pangan, UU Perlindungan
Konsumen dan Sk Menteri tentang produksi dan keamanan susu.
Drh. Khairul
Rizal